Di Tengah Laju Dunia, Cahaya Kemanusiaan Tak Boleh Padam
Di sudut terdalam jiwa, ada sebuah pelita kecil.
Ia tidak lahir dari algoritma,
bukan dari jumlah tayangan,
dan tak bisa dipadamkan oleh riuh jempol.
Pelita itu lahir dari kasih,
tumbuh dari tatapan yang sungguh melihat,
dan berpendar ketika hati memilih untuk hadir.
Kadang ia meredup—
tertiup badai notifikasi,
tertutup kabut pujian semu,
hampir padam oleh bisingnya dunia yang terlalu cepat.
Namun ketahuilah…
pelita itu tidak pernah benar-benar padam.
Ia menunggu seseorang yang mau berhenti sejenak,
menyimak suara nurani, dan berdoa dalam hening:
“Aku ingin kembali menjadi pribadi yang lebih baik lagi”
Saudaraku,
Ketika dunia menuntut kita menjadi cepat, jadilah hadir.
Ketika dunia memaksa kita untuk terus bersinar, jadilah hangat.
Karena pelita kecil itu,
Bisa lebih berarti daripada ribuan layar yang dingin.
Ada beberapa prinsip sederhana yang bisa menjadi pedoman,
untuk tetap menjaga cahaya pelita itu,
agar cahaya kemanusiaan tetap menyala di ruang digital:
Pertama, prinsip kehadiran.
Melihat setiap akun bukan sebagai objek, melainkan sebagai manusia.
Setiap unggahan bukan sekadar data, tetapi ada hati yang menulisnya.
Kedua, prinsip penghormatan.
Menilai diri bukan dari seberapa besar keterlihatan, tetapi dari makna kontribusi.
Satu kalimat tulus bisa jauh lebih bernilai daripada seribu kata yang hanya mengejar perhatian.
Ketiga, prinsip perlambatan.
Menyediakan ruang untuk hadir dengan penuh perhatian, meski dunia digital berlari cepat.
Misalnya, sejenak kita menyapa sesama, meluangkan waktu untuk menoleh, menemui,
atau bercakap-cakap langsung dengan teman, keluarga, maupun orang tua kita.
Atau sekadar menahan diri sebelum mengomentari sesuatu,
agar kata yang keluar tidak melukai, melainkan menguatkan.
Keempat, prinsip kesetaraan.
Menyadari bahwa martabat setiap manusia tetap sama, meski tingkat visibilitasnya berbeda.
Mereka yang tak banyak bicara di dunia digital pun tetap memiliki nilai yang tak tergantikan.
Inilah literasi nilai digital sejati—
mengembalikan manusia ke pusat ruang digital.
Bukan sekadar cepat, bukan semata-mata ramai,
tetapi berakar pada penghormatan, perhatian, dan kasih sayang.
Mari kita selalu jagalah pelita itu.
Agar Mishkah Cahaya tetap menuntun langkah,
menjadi cahaya kecil yang menyembuhkan duniađź’›
Pelita itu adalah “Martabat Manusia”
— nilai dasar yang tak boleh hilang meski dunia digital bergerak cepat.
Pelita yang dapat menjadi cahaya nurani, sebagaimana firman Tuhan dalam ayat Suci:
“Allah adalah Cahaya langit dan bumi. Perumpamaan cahaya-Nya adalah seperti sebuah ceruk (mishkah) yang di dalamnya ada pelita…” (QS. An-Nur: 35).
Setiap manusia memiliki cahaya batin. Tugas kita adalah menjaganya agar tetap hangat, bukan hanya terang.
-Din Nasir
Refleksi nilai dari ruang Mishkah Cahaya – Lentera AtepBale
Bagi jiwa-jiwa yang ingin tetap memuliakan kemanusiaan di tengah “perang” digital dan algoritma.
Tinggalkan Balasan