#POROS KEMANUSIAAN
Mimbar AtepBale – Era digital tidak hanya membawa inovasi, tetapi juga menghadirkan ancaman halus terhadap martabat manusia ketika nilai diri semakin diukur melalui visibilitas digital, bukan melalui kemanusiaan yang otentik. Percepatan teknologi dan keterhubungan lintas batas memungkinkan siapa pun menghadiri kelas daring, rapat virtual, hingga berinteraksi secara global, menciptakan ilusi bahwa jarak fisik tidak lagi relevan. Namun di balik kemajuan ini, muncul krisis martabat yang senyap, terutama di kalangan remaja, ketika identitas dan harga diri mulai bergantung pada eksistensi digital—jumlah likes, followers, dan interaksi daring. UNICEF (2022) mencatat, lebih dari separuh remaja dunia merasa “tidak berarti” jika tidak aktif di media sosial. Angka ini memperlihatkan pergeseran nilai yang mengkhawatirkan: manusia kini lebih dihargai karena seberapa sering ia muncul di layar, bukan karena siapa dirinya. Kita memasuki zaman yang menukar keberadaan dengan keterlihatan.
Dalam filsafat moral, Immanuel Kant menegaskan bahwa martabat manusia (dignity) adalah nilai yang tidak dapat ditukar. Manusia, katanya, harus selalu diperlakukan sebagai tujuan pada dirinya sendiri, bukan sebagai alat untuk tujuan lain. Pandangan ini sejalan dengan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia PBB (1948), Pasal 1, yang menyatakan bahwa semua manusia dilahirkan merdeka dan setara dalam martabat serta hak-haknya. Hannah Arendt menambahkan bahwa martabat bukanlah hadiah dari negara atau teknologi, melainkan kondisi eksistensial yang melekat pada keberadaan manusia. Sementara itu, Amartya Sen menekankan bahwa kemajuan sejati hanya bermakna jika meningkatkan kapabilitas manusia untuk hidup bermartabat—bukan sekadar mempercepat lajunya. Dengan kata lain, martabat bukanlah hasil dari visibilitas digital, melainkan prasyarat etis dari setiap interaksi, termasuk di ruang maya.
Dalam konteks Indonesia, sila kedua Pancasila, Kemanusiaan yang adil dan beradab, menegaskan bahwa martabat manusia tidak boleh ditawar. Nilai ini sangat relevan di era digital, baik dalam melindungi identitas, menguatkan empati lintas layar, maupun membangun solidaritas tanpa batas ruang. Pandangan ini sejalan dengan berbagai pemikiran akademik: Kant mengingatkan agar manusia tidak diperlakukan semata sebagai alat—kritik tajam terhadap algoritma yang hanya melihat manusia sebagai data dan target iklan. Ki Hajar Dewantara menekankan bahwa pendidikan sejatinya menuntun kodrat anak agar tumbuh sesuai martabatnya. Dalam ruang digital, ini berarti pendidikan etika yang memuliakan murid sebagai subjek, bukan objek. Martha Nussbaum melalui capabilities approach menegaskan bahwa martabat hanya dapat tumbuh bila setiap orang diberi kesempatan untuk mewujudkan potensinya. Dengan demikian, dunia digital seharusnya menjadi ruang pemberdayaan, bukan pembatasan.
Era digital membawa banyak kemudahan, tetapi juga menghadirkan tantangan serius bagi eksistensi manusia. Pancasila, sebagai falsafah hidup bangsa, tidak hanya pedoman normatif, tetapi juga kompas moral dalam menghadapi derasnya arus disrupsi teknologi. Ada gejala nyata yang menandakan bagaimana martabat manusia kerap tergerus oleh budaya digital instan:
Memudarnya impati. Banyak orang semakin sibuk menatap layar, namun abai menatap sesama. Keluarga, saudara, atau mereka yang membutuhkan pertolongan sering terabaikan karena perhatian kita tersita dunia maya. Martabat manusia bukan sekadar hadir di ruang digital, tetapi hadir untuk peduli dan mendengarkan.
Pola komunikasi/pesan instan. Pesan instan, copy-paste percakapan, atau komunikasi singkat tanpa konteks membuat relasi antar manusia kian dangkal. Jika komunikasi hanya sebatas pesan cepat yang mekanistik, martabat manusia dapat pudar, berganti pola interaksi ala robotik. Diperlukan prinsip perlambatan, yaitu meluangkan waktu untuk menata bahasa dengan rasa, cinta, dan kasih—karena hanya manusialah yang mampu memberi makna dalam komunikasi.
Fenomena learning loss digital. Kehadiran semu di ruang Zoom atau kelas daring tanpa keterlibatan nyata menciptakan ilusi belajar. Padahal, belajar yang bermartabat bukan hanya soal hadir secara fisik (atau akun daring), melainkan menghadirkan makna, interaksi, dan kesungguhan. Kehadiran bermakna sebagai wujud martabat. Martabat manusia terletak pada keberadaan yang penuh makna. Kehadiran kita—baik digital maupun langsung—harus menghadirkan kepedulian, dukungan, dan penghargaan. Kehadiran bermakna inilah yang menghidupkan nilai kemanusiaan, bukan sekadar eksistensi tanpa substansi.
Di sinilah etika digital berperan penting untuk tetap menjaga martabat manusia. Konsep digital empathy (Belk, 2014) mengajak kita untuk memahami perasaan orang lain dalam interaksi daring, sementara digital dignity menegaskan bahwa setiap orang berhak diperlakukan manusiawi di ruang maya—tidak direndahkan, dipermalukan, atau dieksploitasi. Namun, krisis martabat digital semakin nyata karena dua arus besar: budaya performatif yang menilai keberadaan dari performa, serta attention economy yang menjadikan perhatian sebagai komoditas. Akibatnya, manusia dinilai dari jumlah pengikut, bukan dari nurani; dari kecepatan respons, bukan dari kedalaman kehadiran. Pada titik inilah manusia mulai dilihat sekadar sebagai data, bukan pribadi yang layak dihormati.
Prinsip-Prinsip Literasi Martabat Digital
Menjaga martabat manusia di era digital tidak berarti menolak teknologi, melainkan menanamkan nilai kemanusiaan dalam penggunaannya. Setiap sila Pancasila memberi landasan untuk itu. Ada beberapa prinsip sederhana yang dapat menjadi pedoman:
Pertama, Prinsip Kehadiran. Kehadiran di ruang digital bukan sekadar akun aktif atau kamera menyala, melainkan hadir secara utuh—fisik, psikis, dan moral. Banyak peserta rapat atau kelas daring hanya “hadir secara akun” tanpa benar-benar terlibat. Situasi ini melahirkan empty presence (kehadiran kosong) yang menipu: seolah belajar berlangsung, padahal tidak ada makna yang diperoleh. Kehadiran sejati berarti sadar untuk terlibat, mendengar, memberi tanggapan, dan membangun dialog.
Kedua, Prinsip Keberadaan. Martabat tidak diukur dari seberapa sering seseorang tampak di layar, tetapi dari makna keberadaan yang dihadirkannya. Kehadiran digital sering kali menciptakan ilusi bahwa visibilitas adalah nilai. Padahal, makna sejati terletak pada kontribusi yang bermakna, bukan sekadar seberapa sering tampil. Prinsip ini melahirkan respek—menghormati orang lain sebagai pribadi yang layak dihargai, bukan sekadar angka atau data.
Ketiga, Prinsip Perlambatan. Dunia digital menuntut kecepatan: balasan instan, konten diperbarui tanpa henti, perhatian bergerak cepat. Namun manusia bukan mesin. Perlambatan memberi ruang untuk hadir dengan penuh, menatap lebih dalam, dan menyadari keberadaan sesama. Contohnya sederhana: meluangkan waktu untuk menyapa teman dalam kelas daring, berbicara langsung dengan keluarga di rumah, atau mendengarkan orang tua bercerita. Hal-hal kecil semacam ini mengembalikan kemanusiaan dari jebakan kecepatan digital.
Keempat, Prinsip Kesetaraan. Tidak semua orang memiliki visibilitas digital yang sama: ada yang viral, ada pula yang nyaris tak terlihat. Namun martabat manusia tidak boleh diukur dari sorotan layar. Kesetaraan berarti mengakui nilai yang sama pada setiap orang, sekalipun tidak semuanya mendapat panggung yang sama.
Prinsip-prinsip ini bukan sekadar teori, melainkan pedoman praktis agar ruang digital tetap manusiawi. Dengan menerapkannya, kita sedang menegakkan literasi martabat digital sejati: mengembalikan manusia ke pusat ruang digital.
Martabat manusia adalah nilai paling dasar yang tak boleh hilang. Tanpa martabat, kemajuan digital hanya akan melahirkan mesin, bukan peradaban. Di tengah riuhnya data, kita perlu mengingat: manusia bernilai bukan karena tampak, melainkan karena ada. Ribuan kawan di media sosial tak berarti apa-apa, jika kita gagal mengakui martabat satu orang yang hadir di depan kita.
— Din Nasir, Mimbar AtepBale
Bacaan/Sumber Terkait:
Belk, R. W. (2014). Digital consumption and the extended self. Journal of Marketing Management, 30(11–12), 1101–1118. https://doi.org/10.1080/0267257X.2014.939217
Mussbaum, M. C. (2011). Creating capabilities: The human development approach. Harvard University Press. https://www.hup.harvard.edu/books/9780674061200
UNESCO. (2021). Ethics of artificial intelligence and digital transformation. UNESCO Publishing. https://unesdoc.unesco.org/ark:/48223/pf0000379920
UNESCO. (2022). UNESCO report on digital literacy and human dignity. UNESCO Publishing. https://unesdoc.unesco.org/ark:/48223/pf0000381139
UNICEF. (2022). The state of the world’s children 2021–2022: On my mind – Promoting, protecting and caring for children’s mental health. UNICEF. https://www.unicef.org/reports/state-worlds-children-2021-2022
Tinggalkan Balasan